AKHLAK TASAWUF
HUBUNGAN ANTARA SYARI’AT DAN TASAWUF
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6:
AHMAD KAUTSAR RAYA (1211050029)
AVISSA PURNAMA YANTI (1211050005)
DWI NURHAYATI (1211050117)
MATEMATIKA E
SEMESTER 1
DOSEN : SITI ZULAIHAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
RADEN INTAN LAMPUNG
2012
KATA PENGANTAR
الحمدلله رب العلمين والصلاة والسلام على
نبينا الكريم محمد صلى الله عليه وسلم الذي قد أخرج الناس من الظلمات إلى النور
وأرشدهم إلىصراط المستقيم وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أشهد
أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله.
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Swt, atas segala limpahan rahmatNya kepada kita bersama sehingganya kita bisa
beraktifitas sehari-hari, dan dengan rahmat tersebut penulis bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, meskipun dalam pembuatan makalah ini,
kami masih banyak kekurangan.
Akhirnya, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifat nya membangun agar menjadi bahan
masukan bagi kami untuk memperbaiki pada makalah-makalah yang selanjutnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL………………………………………………………… ….i
KATA
PENGANTAR………………………………………………………… …ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………..iii
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah…………………..………………………………………
1.3 Tujuan…………………………………………………………….
1.4 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………
Bab II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syari’at………………………………………………………….
2.2 Pengertian Tasawuf……………………………………………………
2.3 Maqomat dan Ahwal……………………………………………………….
2.4 Hubungan Antara Syari’at dan Tasawuf…………………………………….
Bab III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………
3.2 Saran………………………………………………………………………..
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………….iv
BAB 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Berbagai upaya dilakukan manusia
untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membuat
mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan dengan
hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran- ajaran seperti ini
terdapat dalam tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak
ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan
tasawuf telah dilakukan boleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rosul,
ia telah sering kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan.
Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang
sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk
merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan
banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi lebih suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan
para sahabatnya. Mereka meneladani kehidupan Rosululloh dan membaktikan hidup
mereka demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada yang sangat tekun
beribadah an hidup zuhud. Mereka ini lebih dikenal dengan sebutan Ahl al-
Shuffah. Kelompok inilah yang kemudian disebut- sebut sebagai cikal bakal
munculnya kaum shufi. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa asal usul kata
tashawuf diambil dari kata shuffah yang kemudian ditransfer kedalam bahasa
Eropa, sofa. Tasawuf dan tarekat terus berkembang dan tersebar diberbagai
wilayah di dunia Islam, baik pada periode klasik, pertengahan maupun modern.
Pada periode pertengahan, wilayah nusantara sudah ikut mengembangkan tasawuf
mulai dari Aceh, Palembang, Demak, Mataram, dan lain-lain. Kemudia diwilayah
Pekalongan, Jawa Tengah munculah tarekat Budiah yang didirikan oleh K.H. Ahmad
Rifa’i, tarekat ini berkembang sampai sekarang.
Pada dasarnya
tasawuf bersifat batin. Sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah/
syari’at. Syari’at merupakan ajaran islam yang tersimpul dalam ibadah yang
mengambil bentuk sholat, puasa, zakat, haji dan ajaran- ajaran mengenai akhlak
islam. Aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (tasawuf) tidak dapat dipisahkan
sehingga antara syari’at dan tasawuf memiliki keterkaitan yang sangat erat.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas,maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimana hubungan
antara syari’at dengan tasawuf?
Dan berdasarkan
rumusan masalah di atas,maka penulis mengambil judul “ HUBUNGAN ANTARA SYARI’AT
DAN TASAWUF ”.
1.3
Tujuan
Ada pun tujuan kami
dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Memenuhi tugas dari Dosen;
2. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang hubungan
syari’ah dengan tasawuf;
3. Menambah wawasan baik pembaca mau pun penulis tentang
hubungan syari’at dan tasawuf;
4. sebagai sarana pelatihan dalam melakukan penelitian suatu
objek dan penyusunan makalah agar dapat bermanfaat bagi pendidikan selanjutnya.
1.4
Tinjauan Pustaka
Dalam pembuatan
makalah ini,kami menggunakan metode pengambilan data dari buku-buku
(refrensi).Cara ini kami gunakan agar informasi yang kami dapatkan lebih
akurat,dan tidak hanya itu,kami juga mengambil beberapa informasi dari
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syari’at
Syari’at adalah cara formal untuk
melaksanakan peribadatan kepada Allah, yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai
tujuan utama penciptaan manusia. (QS. 51 : 56). Di dalam syari’at terdapat
hakikat dan antara syari’ah dah hakikat tidak boleh dipisahkan. Hakikat sendiri
yaitu tasawuf, seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan: “engkau
beribadah seakaan-akan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tidak melihatnya,
niscaya Dia melihatmu.”
Hakikat adalah pelengkap ibadah.
Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakikat seperti sebuah
bangunan kosong dan belum dihias. Sadangkan hakikat tanpa syari’at akan seperti
perhiasan tanpa dihias. Oleh karena itu, sepatutnya kedua aspek penting dalam
agama Islam tersebut jangan terpisah satu sama lain, tetapi dilaksanakan secara
saling melengkapi dan harus diperlakukan secara seimbang. [1]
Didalam ajaran dasar Islam terdapat
tiga komponen yaitu Islam, iman, dan ihsan. Istilah lain dari ketiga komponen
ini yaitu syari,ah/syariah, aqidah, dan akhlak. Nurcholish Madjid member
istilah tiga ajaran dasar Islam itu dengan trilogy ajaran ilahi. Sedangkan
sebagian ulama menyebutkan dengan rukun agama ( arkan al-din).
Islam berarti syari’at yang intinya
adalah ketundukan seseorang kepada Allah. Iman berarti hakikat dan yakin yang
intinya adalah ikhlas. Sedangkan ihsan berarti ma’rifat yang intinya adalah
leburnya seseorang (fana’a) di dalam keabadian Allah Swt atau bebtuk pengamalan
dari syari’at Islam.[2]
2.2
Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara etimologi berasal
dari bahasa arab yaitu tashawwuf yang berakar dari kata shafa (suci), shaff
(barisan), shuffah (serambi tempat duduk), shaufanah (nama pohon yang kurus
yang hidup di padang pasir), shophos (hikmah), shuf (bulu domba).[3]
Untuk menyatakan hakekat tasawuf itu
sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang
tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, ia hanya dapat diketahui bukan pada
hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam upaya, cara, dan sikap
kehidupan para shufi. Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf,
meski saling berbeda, sesuai dengan pengalaman empiric masing-masing dalam
mengamalkan tasawuf.
Secara istilah, menurut para ahli
bahwa tasawuf diantaranya: Menurut
Ma’ruf al-Kurkhi, tasawuf ialah berpegang pada apa yang ada pada tangan
manusia.
Ahmad al-Jariri ketika ditanya
seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke dalam setiap akhlak yang
tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela). Sementara
Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar
dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa
nafsu.
Definisi-definisi diatas menunjukkan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Alloh dengan menekankan pentingnya akhlah atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada makhluk. Selanjutnya definisi tasawuf itu mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan oleh Dzul al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah , sehingga Allah pun akan memilih seorang shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Pada definisi ini, pembahasan tasawuf ini memasuki memasuki wilayah cinta Illahi yang dikenal dengan mahabbah. Shufi adalah orang yang mencintai Allah sampai mengalahkan segala-galanya. Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Busthami yang mendefinisikan tasawuf dengan sifat al-Haqiqi yalbisuha al-Kholqu (sifat Allah yang dikenakan pada hamba-Nya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan dari Abu Yazid bin al-‘Ibrat badalan min al isyarat (mengungkapkan secara lisan akan kondisi batin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf
yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf disamping
sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci,
sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.[4]
2.3
Maqamat dan Ahwal
Tasawuf dari suatu segi merupakan
suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang
muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat- dekatnya. Untuk dapat mendekatkan
diri sedekat- dekatnya kepada Allah, seorang muslim harus menempuh perjalanan
panjang yang penuh duri yang dalam bahasa arab disebut dengan maqamat , yang
merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama
tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling
melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan seorang hamba di hadapan
Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat),
kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian
(al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata hanya untuk
berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah) . Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat al-Shaffat ayat 164.
Di dalam beberapa literatur tasawuf,
konsep maqamat sering dibandingkan penggunannya dengan konsep ahwal (bentuk
jamak dari hal). At-thusi menjelaskan bahwa ahwal adalah suasana yang
menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena
ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh
melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan al-ritadhat seperti dalam maqamat. Adapun
suasana hati yang termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya : merasa
senantiasa diawasi Allah (al-muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb),
rasa cinta dengan Allah (mahabbat), rasa harap- harap cemas (al-khauf wa al-raja’),
rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat),
rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa yakin
(al-yaqin).
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi
mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah
yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai
kewajiban, lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah,
sedangkat maqamat merupakan hasil usaha, Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa
wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara maqamat dan
ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr,
termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu
sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang
langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk
kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun demikian, jika diamati
secara cermat kategori maqamat dan ahwal berbeda, karena ada kalanya seorang
penulis kitab tasawuf memasukan suatu konsep kedalam kategori maqamat,
sementara penulis yang lain memasukanya kedalam kategori ahwal. Dikalangan
ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Perbedaan ini nampaknya
disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniyah yang ditempuh oleh
masing-masing shufi.
2.4
Hubungan antara Syari’at dan Tasawuf
Menurut sebagian ulama,
syari’at/syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat
erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran ilmu yang mendalam.
Syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriyah,
sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalam iman pada aspek batiniyah.
Aspek lahir dan batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan
al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan, sedangkan
aspek batin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan diatas senada dengan
pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibn ‘Ujaibat dalam kitabnya iqazh
al-Himam fi Syarb al- Hikam menyebutkan : Tiada tasawufn kecuali dengan fiqh,
karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh,
dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali
disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya
(tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan : Barang siapa
yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan barang
siapa yang berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barang siapa yang
mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli hakikat.
Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab
Dalil al Falihin menyebutkan : Barang siapa menghiasi lahiriyahnya denga
syari’at dan mencuci kotoran batiniyahnya dengan air thariqat, maka ia dapat
meancapai haqiqat.
Imam Ali Ad-Daqqaq mengatakan,”Perlu
diketahui bahwa sesungguhnya syariat itu adalah hakikat. Bahwa sesungguhnya
syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah SWT. Demikian juga
hakikat adalah syariat untuk mengenal Allah (makrifat kepada Allah). Hakikat
itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah.
Imam Syafi’i juga mengatakan,
”Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka
hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa. Sedangkan orang yang hanya
menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa
dia menjadi baik?
Anda akan menemukan islam yang
sebenarnya dalam tasawuf. Tasawuf bukanlah kumpulan orang berjenggot,
bersorban, bukanlah selalu dzikir di masjid tapi selalu dzikir selama putaran
waktu, dalam tasawuf anda akan menemukan cinta sejati, rindu yang tiada tara.
Tasawuf bukanlah kemiskinan dan kefakiran tapi dalam tasawuf anda akan
menemukan kekayaan. Tasawuf bukanlah kesyirikan justru anda akan menemukan
keesaan-Nya. Untuk menggapainya perlu guru yang betul, perlu dicari guru yang
mengerti tasawuf bukan kulit luarnya tapi keseluruhan.
Dalam belajar ilmu tasawuf ada orang
yang mempelajarinya secara matang sehingga benar dalam mengimplementasikannya.
Dan ada juga yang tidak matang, sehingga menimbulkan citra negatif saat
mengamalkannya karena dilakukan secara membabibuta.
”Tasawwuf bagi Fiqih laksana Ruh
untuk jasad”
”Mengamalkan Fiqih tanpa Tasawwuf
bagai jasad tanpa Ruh”
”Sedangkan mengamalkan Tasawwuf
tanpa fiqih laksana Ruh tanpa jasad
keduanya harus Integra”.
Pendat-pendapat ulama di atas
sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali.
Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan
pengalaman hakikat, maka tidak akan diterima, dan setiap pengalaman hakikat
tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan
yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan : Tidak akan
sampai ketingkat yang terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat)
kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan
ibadah, yaitu syari’ah). Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan (tidak dapat
menembus kedalam batinnya (tujuan ibadah) kecualin setelah menyempurnakan
lahirnya (syarat dan rukun ibadah). Memperhatikan pendapat-pendapat diatas,
terlihat secara jelas bahwa antara syari’ah dan tasawuf terdapat hubungan yang
sangat erat, keduanya tidak dapat dipidahkan. Karena antara syari’ah dengan
tasawuf saling berketerkaitan sekali.
Di sini timbul pertanyaan : mengapa
para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf ? padahal antara keduanya
terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin yang telah
disebutkan dalam pendahuluan, bahwa fuqaha sebagai ahli syari’at sangat
mengutamakan amal-amal lahiriyahnya, seedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat
sangat mengutamakan amal-amal batiniyah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan
al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin, demikian menurut al-Thusi, Oleh
karena itu syari’ah pada umumnya juga mengandung ilmu lahir dan batin. Namun
dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu
lahir maupun ilmu batin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga
syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan
ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu
ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara
keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio
dan logika dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan
hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan
al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut pandangan al-Ghazali sejak
abad ketiga hijriyah ilmu-ilmu agama Islam : ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan
ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi
ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya
masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu
disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan
sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu kalam (ilmu Tauhud),
yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan
dengan ilmu psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan
ilmu, maka spesialisai ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut diatas sangat
menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat islam sebagai
suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat
islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering
terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir
mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikkan) dikalangan
umat islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah
amal lahir atau amasl bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir
ataukah amal bathin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang hanya sampai pada batas ma’rifat, karena tasawuf mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Ajaran yang menekankan aspek akhlak
baik dalam hubungan antar manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama
manusia dalam lingkungannya.
2.
Ajaran diselaraskan sepenuhnya
dengan pertimbangan ilmu syari’ah.
3.
Ajaran tidak mengandung syathabat
yang dipandang telah menyimpang dari ajaran islam menurut ulama syari’at.
4.
Dalam tasawuf sunni masih terlihat
secara jelas perbedaan antara ‘abid dan Ma’bud, Serta antara Kholik dan
makhluk.
Dengan demikian terlihat bahwa
syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan untuk mencapai kemanunggalan
antara manusia dan Tuhan baik berupa ijtihad, hulul, wahdat al-wujud maupun
yang sejenisnya menurut pandangan syari’ah kemanunggalan antara manusia dan
Tuhan mustahil terjadi, karena Tuhan adalah Dzat yang wajib adanya, Maha
Sempurna, dan bersifat Qadim, sedangkan manusia (makhluk) adalah mungkin
adanya, tidak sempurna, dan bersifat hadits. Oleh karena itu, mustahil terjadi
kemanunggalan antara manusia dan Tuhan. Barangkali inilah yang menjadi landasan
ulama syari’ah untuk menolak ajaran tasawuf tersebut.
3.2
Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca pada umumnya khususnya
kepada mahasiswa/mahasiswi IAIN Raden Intan Lampung agar dapat mengaplikasikan
dan mengamalkan hakikat alam terhadap manusia mau pun fungsi adanya manusia
untuk alam sehingga dapat tercipta hubungan harmonis antara alam dan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution1973.Filsafat
dan Mistitisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
http://madtauhid.wordpress.com/2009/07/24/hubungan-tasawuf-dengan-syariat/
Mulyadhi Kartanegara. 2006. Menyelami Lubuk
Tasawuf. Jakarta: Erlangga
M. Afif
Anshori dkk. 2009. Sejarah Perkembangan Tasawuf dan Thorekat. Lampung:
Pusikamla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar